Modul Profesionalisasi Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling.pdf

Modul Profesionalisasi Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling - Profesi konseling merupakan pekerjaan atau karir yang bersifat pelayanan bantuan kehalian dengan tingkat ketepatan yang tinggi untuk kebahagiaan pengguna berdasarkan norma-norma yang berlaku. Kekuatan dan eksistensi profesi muncul sebagai akibat interaksi timbal balik antara kinerja Guru BK atau Konselor dengan kepercayaan publik (publict trust). Masyarakat percaya bahwa pelayanan yang diperlukannya itu hanya dapat diperoleh dari orang yang dipersepsikan sebagi seorang yang berkompeten untuk memberikan pelayanan bimbingan dan konseling. Public trust akan mempengaruhi konsep profesi bimbingan dan konseling dan memungkinkan anggota profesi berfungsi dengan cara-cara profesional.

Modul Profesionalisasi Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling

Public trust akan melanggengkan profesi bimbingan dan konseling, karena dalam publict trust terkandung keyakinan publik bahwa profesi bimbingan dan konseling dan para anggotanya berada dalam kondisi sebagai berikut:
  1. Memiliki kompetensi dan keahlian yang disiapkan melalui pendidikan dan latihan khusus dalam standar kecakapan yang tinggi. Kompetensi ini dikembangkan melalui pendidikan formal dan/atau latihan khusus sebelum memasuki dunia praktik profesional bimbingan dan konseling. Guru BK atau Konselor sebagai tenaga profesional dipersyaratkan untuk menunjukkan kemampuan yang dibuktikan melalui uji kompetensi.
  2. Memiliki perangkat ketentuan yang mengatur perilaku profesional dan melindungi kesejahteraan publik. Aspek yang penting dalam hal ini adalah kepercayaan:
    • adanya kodifikasi perilaku profesional sebagai aturan yang mengandung nilai keadilan dan kaidah-kaidah perilaku profesional yang tidak semata-mata melindungi anggota profesi, tetapi juga melindungi kesejahteraan publik.
    • bahwa anggota profesi mengorganisasikan pelayanannya dan bekerja dengan berpegang kepada standar perilaku profesional.
    • diyakini bahwa seorang profesional akan menerima tanggung jawab mengawasi dirinya sendiri (self regulation). Aspek penting dari self regulation adalah komitmen terhadap kode etik dan standar praktik profesi.
  3. Anggota profesi dimotivasi untuk melayani pengguna dan pihak-pihak terkait dengan cara terbaik. Keyakinan ini menyangkut komitmen seorang guru BK atau Konselor untuk tidak mengutamakan kepentingan pribadi dan finansial. Guru BK atau Konselor juga harus terus menerus melakukan profesionalisasi diri dalam upaya mewujudkan dirinya menjadi tenaga profesional yang kompeten, sehingga akan dapat melakukan aksi pelayanan bimbingan dan konseling secara tepat dan akurat, disertai dedikasi yang tinggi untuk kepentingan pengguna, sesuai dengan perangkat ketentuan yang mengatur perilaku profesional yang ada dalam kode etik profesi.
Modul mata pelajaran Kode Etik Profesi Konselor membahas tentang profesi bimbingan dan konseling, profesionalisasi konselor, dan kode etik profesi konselor. Profesi Bimbingan dan Konseling meliputi pengertian dan ciri-ciri profesi, trilogi profesi, public trust dan profesi BK bermartabat; Profesionalisasi Konselor meliputi pemahaman diri, dan pengembangan diri; Kode Etik Profesi Konselor, meliputi persoalan etis dan profesional, etika, moral, norma, dan nilai, pentingnya kode etik, keterbatasan kode etik, mengambil keputusan etik.

Adapun tujuan dari dibagikannya Modul Profesionalisasi Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling ini diantranya supaya :
  1. Guru BK atau Konselor memahami Profesi Bimbingan dan Konseling
  2. Guru BK atau Konselor menerapkan Trilogi Profesi Bimbingan dan Konseling
  3. Guru BK atau Konselor mewujudkan Public Trust dan Kemartabatan Profesi Bimbingan dan Konseling.
  4. Guru BK atau Konselor memahami diri sebagai tenaga profesional Bimbingan dan Konseling.
  5. Guru BK atau Konselor melakukan Pengembangan diri sebagai tenaga profesional Bimbingan dan Konseling.
  6. Menguraikan persoalan etis dan profesional
  7. Memahami etika, moral, norma, dan nilai
  8. Memahami pentingnya kode etik profesi
  9. Mendiskripsikan keterbatasan kode etik
  10. Menerapkan pengambilan keputusan etik.

Profesi Bimbingan dan Konseling

a. Pengertian dan Ciri-Ciri profesi

Profesi konseling adalah sebuah penemuan abad ke-20 sebagai profesi bantuan. Kita sekarang hidup dalam dunia yang kompleks, sibuk, dan terus berubah. Di dunia ini, ada banyak pengalaman yang sulit dihadapi oleh seseorang. Memang biasanya kita terus menjalani hidup ini, namun ada saatnya kita terhenti oleh sebuah peristiwa atau situasi yang tidak dapat kita pecahkan pada saat itu. Biasanya, dalam menghadapi masalah seperti ini, kita akan membicarakannya dengan keluarga, teman, tetangga, atau dokter keluarga kita. Sayangnya,seringkali saran mereka tidak cukup memuaskan,atau kita terlalu malu dan segan untuk memberitahukan merepa apa yang mengganggu, atau bisa saja kita memang tidak memiliki orang yang tepat untuk membicarakannya. Pada saat itulah, konseling merupakan pilihan yang sangat berguna.

Konseling adalah sebuah aktivitas yang muncul ketika seseorang yang bermasalah mengundang dan mengizinkan orang lain untuk memasuki hubungan tertentu di antara mereka. Seseorang mencari hubungan jenis ini ketika menemukan “problem dalam kehidupan” yang tidak dapat mereka pecahkan dengan sumber daya keseharian mereka,dan hal tersebut membuat mereka terasing dari beberapa aspek kehidupan sosial. Seseorang yang membutuhkan konseling mengundang orang lain untuk menyediakan ruang dan waktu untuknya, ditandai dengan sejumlah fitur yang tidak selalu tersedia dalam kehidupan sehari-hari, seperti izin untuk berbicara, menghargai perbedaan, kerahasiaan, dan afirmasi.

Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian khusus dari para penyandang profesi. Artinya, pekerjaan yang disebut profesi itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus terlebih dahulu untuk melakukan pekerjaan itu. Profesi itu berbeda dari pekerjaan-pekerjaan yang lain karena mempunyai fungsi sosial, yaitu pengabdian kepada masyarakat dan di dalamnya tersimpul suatu keharusan kompetensi agar profesi tersebut menjalankan fungsinya sebaik-baiknya. Hal ini dengan sendirinya mengimplikasikan supaya terpenuhinya tuntutan adanya pengetahuan dan keterampilan yang khusus menjalankan fungsi itu dan pula adanya cara atau alat untuk mengadakan verifikasi terhadap tuntutan pengetahuan khusus.

Konseling sebagai profesi yang bersifat membantu memiliki landasan ilmu dan teknologi serta wilayah praktek yang jelas yang dapat dibedakan dengan profesi-profesi lain yang bersifat membantu. Ilmu dan teknologi merupakan dasar dan andalan bagi terselenggaranya pelayanan profesi konseling, yang diarahkan, dibimbing dan dijaga oleh kode etik yang secara khusus disusun untuk profesi tersebut. Konseling sebagai profesi bantuan, fondasi bagi konseling sebagai disiplin ilmu diperoleh dari disiplin keilmuan psikologi. Kontribusi psikologi meliputi teori dan proses konseling, asesmen standar, teknik konseling individu dan kelompok, dan pengembangan karier seerta teori-teori pengambilan keputusan. Wilayah spesialisasi bidang psikologi memiliki kontribusi lebih jauh untuk bangunan pengetahuan yang diatasnya para konselor bekerja. Utamanya, bangunan ini dibentuk oleh psikologi pendidikan dan studi-studinya tentang teori belajar, pertumbuhan dan perkembangan manusia dan implikasinya bagi lingkup pendidikan. Psikologi sosial membantu konselor mengerti pengaruh-pengaruh situasi sosial bagi individu,termasuk pengaruh lingkungan dan perilaku tertentu. Psikologi ekologis menyoroti studi lingkungan dan bagaimana individu mencerap, dibentuk dan mempengaruhi lingkungannya. Psikologi perkembangan membantu konselor memahami mengapa dan bagaimana individu tumbuh dan berubah sepanjang hidup mereka.

Secara garis besar-ciri-ciri suatu profesi dapat dirangkumkan sebagai berikut:
  1. Tugas yang dijalankan anggota suatu profesi bersifat layanan kemasyarakatan.
  2. Tugas itu bersifat khas dan jelas, dijalankan dengan menggunakan cara atau teknik ilmiah, dijalankan oleh petugas khusus yang mempunyai kewenangan diakui oleh badan resmi pemberi pengakuan.
  3. Ada sistem ilmu tertentu hasil pengembangan melalui proses ilmiah. Ilmu dan pengetahuan itu dipelajari melalui pendidikan tinggi. 
  4. Untuk memperoleh kewenangan sebagai menjalankan tugas profesi dipersyaratkan pendidikan keahlian khusus tingkat tinggi yang memakan waktu panjang.
  5. Anggota profesi harus memiliki kecakapan minimum yang ditetapkan dengan menerapkan standar seleksi, pendidikan, dan perizinan (sertifikat) untuk dapat menjalankan praktek.
  6. Dalam menjalankan tugas layanan kemasyarakatan anggota profesi (a) lebih mengutamakan kepentingan umum,atau pihak yang memerlukan layanan bantuan, dari pada kepentingan pribadi (memperoleh keuntungan material atau mencari popularitas pribadi), dan (b) selaslu memperhatikan dan mematuhi ketentuan-ketentuan tentang aturan sopan-santun bertingkah laku (kode etik) ketika menjalankan tugas profesinya.
  7. Para anggota profesi bergabung di dalam satu himpunan dan berperan serta aktif di dalamnya. Himpunan ini merupakan wadah para anggota untuk saling bertukar pikiran dan berbagi pengalaman dengan tujuan memajukan kemampuan dan keterampilan menjalankan tugas.
  8. Para anggota profesi terus menerus memajukan diri dengan melakukan bacaan teknis ilmiah (seperti jurnal),kegiatan penelitian, dan keikutsertaan di dalam pertemuan-pertemuan ilmiah profesional, seperti konvensi, seminar, simposium, lokakarya, yang diselenggarakan oleh organisasi. Semuanya itu dilakukan dengan maksud agar anggota profesi dapat mengikuti perkembangan ilmu dan  teknologi mutakhir bidang profesinya dan ini selanjutnya berdampak meluaskan wawasan serta meningkatkan kemampuan dan keterampilan profesionalnya.
Profesi konseling merupakan pekerjaan atau karir yang bersifat pelayanan bantuan keahlian dengan tingkat ketepatan yang tinggi untuk kebahagiaan pengguna berdasarkan norma-norma yang berlaku. Penggunaan cara-cara ilmiah. Pengamatan di lapangan, yaitu kinerja konselor dalam melaksanakan konseling di sekolah-sekolah menunjukkan bahwa ciri ini belum dimiliki secara luas. Alasannya, antara lain, adalah kurangnya pengetahuan para konselor dan sering terjadi keliru pengertian. Kedua alasan ini berkaitan dengan kenyataan bahwa banyak konselor di sekolah dewasa ini tidak mempunyai latar belakang pendidikkan khusus konseling. Masalah diperparah karena miskonsepsi ini umum terdapat dikalangan staf sekolah umumnya,bahkan tidak jarang termasuk kepala sekolah sendiri. Penyebabnya sama juga, kurangnya pengetahuan dan pengertian mereka tentang konseling, dan ini disebabkan oleh latar belakang pendidikan mereka Ini semua ada hubungannya dengan satu masalah besar, yaitu kurangnya tenaga pendidikan umumnya.

Kompetensi utama yang dikembangkan melalui program sarjana bimbingan dan konseling adalah:
  1. menguasai dasar-dasar ilmiah disiplin ilmu dan bidang ilmu bimbingan dan konseling, sehingga mampu mengidentifikasi, memahami, menjelaskan, mengevaluasi dan menganalisis secara kritis dan merumuskan cara penyelesaian masalah yang ada dalam cakupan disiplin ilmunya;
  2. menerapkan pengetahuan dan keterampilan di masyarakat tentang pelayanan konseling;
  3. bersikap dan berperilaku dan berkarya dalam karir tertentu sesuai dengan norma kehidupan masyarakat;
  4. mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni.
Kompetensi utama yang dikembangkan melalui pendidikan profesi konselor adalah:
  1. mengembangkan perilaku yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, mandiri dan mempunyai rasa tanggung jawab dan motivasi altruistik dalam pelayanan profesi konseling dan kehidupan kemasyarakatan pada umumnya;
  2. menguasai landasan keilmuan dan keterampilan keahlian profesional yang relevan dengan bidang ilmu yang diperoleh pada program sarjana sebagai landasan keterampilan keahlian khusus dalam profesi konselor yang dibangun;
  3. mengembangkan pelayanan keahlian profesional berkenaan dengan praktik keahlian khusus profesional dengan penguasaan keahlian yang tinggi;
  4. mengembangkan perilaku pelayanan profesional konseling berkenaan dengan berkehidupan dan kegiatan pelayanan profesional berlandaskan dasar keilmuan dan sumbstansi profesi sesuai dengan karir profesi konselor yang dipilih, terutama berkenaan dengan etika profesional, riset dalam bidang profesi, dan organisasi profesi bimbingan dan konseling;
  5. mengembangkan kehidupan bermasyarakat profesi konselor, berkenaan dengan kaidah-kaidah kerjasama profesional dalam berkehidupan masyarakat profesi sesuai dengan karir profesi yang dipilih, terutama dalam hubungan antarindividu dan hubungan kolaboratif antaranggota profesi konseling dan profesi lain, yaitu dalam pembentukan tim kerjasama, pelaksanaan kerjasama dan tanggung jawab bersama profesional.
Suatu jabatan atau pekerjaan disebut profesi jika memiliki syarat-syarat atau ciri-ciri tertentu. Sejumlah ahli seperti McCully,1963; Tolbert,1972; dan Nugent, 1981 (dalam Prayitno & Erman Amti, 2004: 339-340) telah merumuskan syarat-syarat atau ciri-ciri suatu profesi yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Abraham Flexner (dalam Suatu profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang memiliki fungsi dan kebermaknaan sosial yang sangat menentukan.
  2. Untuk mewujudkan fungsi tersebut pada butir di atas para anggotanya (petugas dalam pekerjaan itu) harus menampilkan pelayanan yang khusus yang didasarkan atas teknik-teknik intelektual, dan keterampilan-keterampilan tertentu yang unik.
  3. Penampilan pelayanan tersebut bukan hanya dilakukan secaara rutin saja, melainkan bersifat pemecahan masalah atau penanganan situasi kritis yang menuntut pemecahan dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
  4. Para anggotanya memiliki kerangka ilmu yang sama yaitu di dasarkan atas ilmu yang jelas, sistematis, dan eksplisit; bukan hanya didasarkan atas akal sehat (mommon sense) belaka.
  5. Untuk dapat menguasai kerangka ilmu itu diperlukan pendidikan dan latihan dalam jangka waktu yang cukup lama.
  6. Para anggotanya secara tegas dituntut memiliki kompetensi minimum melalui prosedur seleksi, pendidikan dan latihan, serta lisensi atau sertifikasi.
  7. Dalam menyelenggarakan pelayanan kepada pihak yang dilayani, para anggota memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi dalam memberikan pendapat dan pertimbangan serta membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan berkenaan dengan penyelenggaraan pelayanan profesional yang dimaksud.
  8. Para anggotanya, baik perorangan maupun kelompok, lebih mementingkan pelayanan yang bersifat sosial daripada pelayanan yang mengejar keuntungan yang bersifat ekonomi.
  9. Standar tingkah laku bagi anggotanya dirumuskan secara tersurat (eksplisit) melalui kode etik yang benar-benar diterapkan; setiap pelanggaran atas kode etik dapat dikenakan sanksi tertentu. 
  10. Selama berada dalam pekerjaan itu, para anggotanya terus menerus berusaha menyegarkan dan meningkatkan kompetensinya dengan jalan mengikuti secara cermat literatur dalam bidang pekerjaan itu, menyelenggarakan dan memahami hasil-hasil riset, serta berperan serta secara aktif dalam pertemuan-pertemuan sesama anggota.
Memperhatikan ciri-ciri yang menjadi tuntutan suatu profesi, dapatlah dipahami sepenuhnya bahwa tenaga profesional konselor perlu dipersiapkan di perguruan tinggi, mulai dari pendidikan program sarjana sampai dengan program pendidikan profesi konselor. Aspek-aspek keintelektualan/keilmuan, kompetensi dan teknologi operasional, kode edtik, dan aspek-aspek sosialnya seluruhnya dipelajari melalui program pendidikkan sarjana dan pendidikan profesi konselor.

b. Trilogi Profesi

Memperhatikan keseluruhan ciri dan isi suatu profesi, dipahami bahwa spektrum suatu profesi dalam bentuk trilogi profesi, yaitu (1) dasar keilmuaan, (2) substansi profesi, dan (3) praktik profesi. Komponen dasar keilmuan menyiapkan (calon) konselor dengan landasan dan arah tentang wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap (WPKNS) berkenaan dengan profesi yang dimaksud. Komponen substansi profesi memberikan modal tentang apa yang menjadi fokus dan objek praktik spesifik profesi konseling dengan bidang khusus kajiannya, aspek-aspek kompetensi, sarana operasional dan manajemen, kode etik, serta landasan praktik operasional konseling. Komponen praktik merupakan realisasi pelaksanaan pelayanan profesi konseling setelah kedua komponen profesi (dasar keilmuan dan substansi profesi) dikuasai.

Suatu profesi tanpa dasar keilmuan yang tepat akan mewujudkan kegiatan profesional tanpa arah dan/atau bahkan mapraktik; tanpa substansi profesi yang jelas dan spesifik, suatu profesi itu akan kerdil, mandul dan dipertanyakan isi dan manfaatnya; dan tanpa praktik profesi, maka profesi menjadi tidak terwujud, dipertanyakan eksistensinya, dan tenaga profesionjal yang dimaksud tidak berarti apa-apa bagi kemaslahatan kehidupan manusia. Trilogi profesi merupakan suatu kesatuan tak terpisahkan, saling terkait, bermuara pada praktik profesi, terarah dan berlandaskan kaidah-kaidah keilmuan, dan berisi pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan masa depan klien mengacu kepada perkembangan optimal, kemandirian, dan kebahagiaan dalam kehidupan.

c. Public Trust dan Profesi BK Bermartabat

Untuk dapat melaksanakan profesinya, seorang konselor harus memiliki visi dan misi secara luas dan mendalam dalam bidang profesinya sehingga dapat melakukan aksi pelayanan secara tepat dan akurat, disertai dedikasi yang tinggi untuk kepentingan pengguna (klien). Suatu profesi perlu didukung oleh (i) pelayanan yang tepat, (ii) pelaksana yang bermandat, dan (iii) pengakuan yang sehat dari berbagai pihak yang terkait. Ketiga hal tersebut dapat menjamin tumbuh suburnya profesi dan menjadikan profesi konseling menjadi profesi yang bermartabat. Salah satu ciri khas profesi ialah keseragaman, antara lain dalam pemakain istilah. Dengan keseragaman ini tercermin kemantapan ilmu dan teknologi, terarahan dan ketepatan pelayanan, serta ketegasan kode etik suatu profesi. Kesimpangsiuran dalam pemahaman, pelaksanaan kegiatan, serta penilaian dan supervisi terhadap implementasi suatu profesi tidak akan terjadi.

Public trust ini menjadi faktor kunci untuk mengokohkan identitas profesi. Kepercayaan ini dapat memberikan makna terhadap profesi dan memungkinkan anggota profesi akan menjalankan fungsinya di dalam cara-cara profesional. Kepercayaan publik dapat menumbuhkan dan melanggengkan profesi dan anggotanya karena beberapa hal:
  1. Kepercayaan publik berawal dari suatu persepsi tentang kompetensi. Persepsi ini menumbuhkan keyakinan bahwa seorang profesional dipandang sebagai yang memiliki kepakaran khusus dan kompetensi tersebut tidak ditemukan di dalam masyarakat. Kompetensi ini dikembangkan melalui proses pendidikan dan persiapan khusus, mensyaratkan tingkat pendidikan tertentu bahkan ujian khusus sebelum masuk ke dalam praktek profesional. Dalam situasi profesi konseling, setiap konselor harus menampilkan keberlajutan kepakarannya melalui ujian periodik.
  2. Kepercayaan publik diperkuat oleh persepsi terhadap kelompok profesional sebagai kelompok yang mampu mengatur dirinya sendiri dan diatur sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Salah satu aspek penting dari persepsi ini ialah keyakinan akan adanya kodifikasi (aturan) perilaku profesional yang menjadi patokan atau prinsip bagi layanan publik dan pada gilirannya kodifikasi tersebut akan menjadi pelindung kesejahteraan publik. Jadi karakteristik terpenting di dalam suatu profesi ialah mekanisme mengatur diri sendiri (mechanism of self-regulation) dalam hal melahirkan: kode etik dan patokan profesi.
  3. Kepercayaan publik juga tumbuh karena adanya persepsi bahwa orang-orang yang terlibat dalam suatu profesi dimotivasi untuk melayani orang lain yang memerlukan bantuan. Ini berarti bahwa komitmen profesional terhadap nilai yang melintasi batas-batas kebutuhan atau minat pribadi dan finansial, serta perilaku profesional dipandu oleh nilai-nilai itu. Seiring dengan upaya tersebut, sebagai suatu profesi konseling yang sedang berkembang dan berupaya untuk memperoleh kepercayaan publik, harus dikembangkanm dengan paradigma yang sesuai dengan masyarakat dan budaya Indonesia.

2. Profesionalisasi Konselor

a. Pemahaman Diri

Seseorang sebelum dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan diri sendiri sebagai seorang konselor, seseorang hendaklah dengan kritis dan jujur menilai dirinya, terutama tentang apakah memang kemauannya cukup kuat untuk secara bertanggung jawab membantu orang lain. Dengan amat bersahaja seseorang mungkin menanyakan kepada dirinya, ”Apakah yang saya harapkan dari hubungan ini?” Kepuasan dan imbalan apakah yang mungkin saya peroleh dalam membantu orang lain?” meskipun alasan-alasan konselor untuk membantu orang lain,tetapi setiap konselor hendaklah selalu terbuka dan menyadari dorongan-dorongan yang mendasari tindakan-tindakannya. Dorongan-dorongan ini akan sangat mempengaruhi keberhasilan pekerjaannya nanti. Konselor yang membantu orang lain tetapi dengan maksud agar konselor itu dapat menghindarkan diri dari masalah-masalahnya sendiri, akan kurang efektif. Bahkan, jika klien tidak berhasil menghayati secara baik pribadi konselor (dan jika konselor tiedak membuka dirinya seterbuka mungkin), maka klien tidak akan pernah memperkembangkan sikap mempercayai secara penuh dan mantap terhadap konselor, padahal kepercayaan yang penuh dan mantap ini amat diperlukan untuk suatu konseling yang efektif.

Alasan pertama (untuk membantu orang lain) yang timbul dalam pikiran konselor mungkin bukanlah yang paling murni dan paling tepat. Penipuan diri dalam hal ini akan menghambat kefektifan konseling. Niat dorongan yang dimiliki oleh konselor itu akan segera diketahui oleh klien. Para remaja pada umumnya cepat sekali dapat menagkap kepura-puraan orang dewasa dan mengetahui maksud konselor dengan cara-cara yang agak lunak ingin memaksakan peraturan-peraturan sekolah kepada mereka. Usaha untuk menyadari kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongannya sendiri mengharuskan konselor untuk senantiasa mengungkapkan pandangannya tenatng dirinya sendiri dan tentang orang lain,serta untuk terus menerus lebih dalam lagi mempelajari diri sendiri.

Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh konselor (tentang diri sendiri) adalah:
  1. Siapakah saya?
  2. Apakah kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan saya?
  3. Apakah yang saya perlukan dari orang lain?
  4. Bantuan apakah yang perlu saya tawarkan kepada orang lain?
  5. Apakah yang saya yakini baik untuk orang lain?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sering sulit dijawab dan mungkin jawabannya dapat memedihkan hati sendiri. Bagaimanapun juga konselor yang efektif hendaknya terus menerus berusaha mengenal diri sendiri. Konselor harus bertekad untuk terus menerus memperkembangkan dirinya baik melalui latihan maupun dalam kehidupan nyata sehari-hari, serta harus pula mempunyai keberanian dan keteguhan hati untuk melakukan analisis pribadi yang mendalam tentang dorongan-dorongannya mengapa ia ingin membantu klien. Hal iniperlu ditekankan mengingat perkembangan pribadi adalah suatu proses tanpa henti. Sehubungan dengan hal itu, maka pertanyaan-pertanyaan tersebut memerlukan jawaban baru (tidak selalu tetap sama), sehingga memungkinkan konselor untuk secara berkala menjawab pertanyaan-pertanyaan: ”Seharunyakah saya menjadi konselor?” Mengapa?”; dan juga untuk menyadari bahwa kesiapan dan kelayakannya sebagai konselor berubah sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada diri pribadinya. Konselor perlu melakukan hal ini berkali-kali bila dia ingin mengenali dan menghindarkan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya sebelum dia berusaha lagi melakukan konseling terhadap orang lain. Yang penting diingat ialah bahwa peningkatan pengenalan tentang diri sendiri dan dorongan-dorongan yang ada pada dirinya akan memungkinkan konselor dapat bekerja lebih efektif dengan orang lain.

b. Pengembangan Diri

Guru BK atau Konselor harus memiliki profesionalisme didalam menjalankan profesinya. Profesionalisme menunjuk kepada komitmen Guru BK atau Konselor sebagai anggota profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Wujud dari profesionalisme Guru BK atau Konselor yaitu melakukan profesionalisasi diri untuk dapat melaksanakan kinerja yang bermutu sesuai dengan sifat, tugas dan kegiatannya.

Profesionalisasi merupakan tuntutan untuk memenuhi amanat UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; dan PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, Pasal 1 butir 1, Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentangf Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Butir 6 menyebutkan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.

Pengembangan diri keprofesionalan berkelanjutan memberikan jaminan bagi Guru BK atau Konselor:
  1. Menjadi lebih kompeten dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang kuat, tuntas, serta kepemilikan kepribadian yang prima untuk terampil membangkitkan minat peserta didik kepada Iptek;
  2. Membuat pekerjaan guru yang telah diakui sebagai profesi yang bermartabat, menarik dan pilihan yang kompetitif bagi angkatan kerja;
  3. Penghargaan langsung angka kredit yang diperlukan dalam pengembangan karir guru terutama dalam kenaikan pangkat/jabatan fungsional;
  4. Mampu mencermati perubahan internal dan eksternal, menghadapi perubahan dengan upaya penyesuaian diri dalam rangka mempertahankan eksistensinya.
Pengembangan diri berkelanjutan (self-development) adalah penyemaian potensi diri sendiri secara berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kompetensi profesional. Pengembangan diri ibarat bibit yang perlu disemaikan dulu baru bisa ditanam. Guru BK atau konselor, memiliki potensi dasar untuk dikembangkan, seperti potensi: fisik, intelektual, emosional, empati, spiritual, moral, kata hati, dan lain-lain.

Pengembangan diri dilakukan secara bertahap dan kontinyu untuk mengoptimalisasi pengembangan dirinya. Tahap-tahap pengembangan diri yang dilakukan oleh Guru BK atau Konselor yaitu:
  1.  mengenali diri sendiri;
  2. memposisikan diri;
  3. mendobrak diri; dan
  4. aktualisasi diri.
Pengembangan diri secara berkelanjutan merupakan ciri:manusia normal, dan manusia sukses. Manusia mampu mengukir prestasi besar memiliki kemauan mengembangkan diri yang luar biasa.Pengembangan diri merupakan:proses pembaruan, dan produknya memiliki nilai kebaruan.

3. Kode Etik Profesi Konselor

a. Persoalan Etis dan Profesional

Profesi konseling merupakan keahlian pelayanan pengembangan dan pemecahan masalah yang mementingkan pemenuhan kebutuhan dan kebahagiaan pengguna sesuai dengan martabtt, nilai, potensi, dan keunikan individu berdasarkan kajian dan penerapan ilmu dan teknologi dengan acuan dasar ilmu pendidikan dan psikologi yang dikemas dalam kaji terapan konseling yang diwarnai oleh budaya pihak-pihak terkait.

Dengan demikian paradigma konseling adalah pelayanan bantuan psiko-pendidikan dalam bingkai budaya. Dari sudut pandang profesi bantuan (helping profession) pelayanan konseling diabdikan bagipeningkatan harkat dan martabat kemanusiaan dengan cara menfasilitasi perkembangan individu atau kelompok individu sesuai dengan dengan kekuatan, kemampuan potensial dan aktual serta peluang-peluang yang dimilikinya, dan membantu mengatasi kelemahan dan hambatan serta kendala yang dihadapi dalam perkembangan dirinya.

Tingkah laku tidak beretik dalam konseling bentuknya bermacam-macam. Godaan umum yang dirasakan orang,juga dialami konselor. Diantaranya termasuk keintiman fisik, gosip yang menggairahkan,atau kesempatan (jika berhasil) untuk meningkatkan karir seseorang. (Welfel & Lipsitz,1983b:328). Beberapa bentuk tingkah laku tidak etis jelas dan terencana, sementara lainnya lebih halus dan tidak terencana. Berikut ini adalah beberapa tingkah laku tidak etis yang paling sering dalam konseling (ACA,2005; Herlihy & Corey, 2006):
  1. Pelanggaran kepercayaan
  2. Melampaui tingkat kompetensi profesional seseorang
  3. Kelalaian dalam praktik
  4. Mengklaim keahlian yang tidak dimiliki
  5. Memaksakan nilai-nilai konselor kepada klien
  6. Membuat klien bergantung
  7. Melakukan aktivitas seksual dengan klien
  8. Konflik kepentingan, seperti hubungan ganda yaitu peran konselor bercampur dengan hubungan lainnya, baik hubungan pribadi atau hubungan profesional (Moleski & Kiselica,2005)
  9. Persetujuan finansial yang kurang jelas, seperti mengenakan bayaran tambahan
  10. Pengiklanan yang tidak pantas
  11. Plagiarisme

b. Etik, Moral, Norma, dan Nilai

Istilah etika, moral, norma dan nilai sering tidak bisa dibedakan secara jelas, dan seiring mengacu pada hukum yang berlaku secara umum di masyarakat. Etika adalah sebuah cabang filsafat yang membicarakan nilai dan norma, moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam melihat dan menggumuli nilai, norma dan moral tersebut serta permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai, norma dan moral. Etika adalah sebuah refleksi ktritis dan rasional mengenai nilai, norma dan moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap serta pola perilaku hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok.

Helden (1977) dan Richards (1971) merumuskan pengertian moral sebagai suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan-tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Atkinson (1969) mengemukakan moral atau moralitas merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Selain itu moral juga merupakan seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa yang harus dicoba dilakukan oleh manusia.

Norma berarti ukuran, garis pengarah,atau aturan, kaidah bagi pertimbangan dan penilaian. Nilai yang menjadi milik bersama dalam satu masyarakat dan telah tertanam dengan emosi yang mendalam akan menjadi norma yang disepakati bersama. Segala hal yang diberi nilai, indah, berguna, diusahakan untuk diwujudkan dalam perbuatan. Sebagai hasil dari usaha tersebut, timbullah ukuran perbuatan atau norma tindakan. Norma ini jika telah diterima oleh anggota masyarakat sellalu mengandung sangsi dan penguatan (reinforcement), yaitu (a) jika tidak dilakukan sesuai dengan norma,maka hukumannya adalah celaan dan sebagainya, (b) jika dilakukan sesuai dnegan norma, maka pujian, balas jasa, dan sebagainya adalah imbalannya.

c. Pentingnya Kode Etik Profesi

Sebelum menjadi seorang konselor, sebaiknya seseorang dengan kritis dan jujur menilai diri sendiri, apakah secara moral kemauannya cukup kuat dan bersedia memikul tanggungjawab untuk membantu orang lain. Untuk itu, sebaiknya tanyakanlah kepada diri sendiri “Apakah yang saya harapkan dari kegiatan pelayanan konseling ini? Kepuasan dan imbalan apakah yang mungkin saya peroleh dalam membelajarkan orang lain melalui pelayanan konseling? Meskipun alasan-alasan konselor untuk membantu orang lain tidak selamanya murni dan benar-benar bersifat menguntungkan orang lain, tetapi setiap konselor hendaknya selalu terbuka dan menyadari dorongan-dorongan yang mendasari tindakan-tindakannya, sebab dorongan-dorongan ini akan sangat mempengaruhi keberhasilan pekerjaannya nanti.

Konselor yang beretika adalah, konselor yang dapat mengajukan sebuah pertanyaan yang mendasar bagi semua etika: “bagaimanakah seharusnya saya menjalani hidup?” Sebagaimana halnya kehidupan lain, kehidupan moral dimulai dengan pengekspresian diri seseorang; seperti ekspresi hasrat, dorongan instink, keinginan, dan bentuk-bentuk dorongan internal lainnya.

Moralitas berarti ekspresi diri dalam konteks yang terstruktur. Bagaimanapun, hal yang perlu ditekankan disini ialah bahwa tanpa ekspresi diri ini, tidak ada isi kehidupan moral. Dorongan rasa lapar dan seks yang bersifat instintif, hasrat marah, membenci dan mencintai, keinginan untuk berteman dan mencipta, serta semua dorongan lainnya melengkapi materi pengisi moralitas. Tanpa dorongan-dorongan ini maka moralitas tidak berarti, seperti sebuah sungai yang kering tanpa air mengalir.
Kode etik, bagi seorang konselor adalah sebagai berikut:

  1. memberikan pedoman etis/moral berperilaku waktu mengambil keputusan bertindak menjalankan tugas profesi konseling;
  2. memberikan perlindungan kepada klien (individu pengguna);
  3. mengatur tingkah laku pada waktu menjalankan tugas dan mengatur hubungan konselor dengan klien, rekan sejawat dan tenaga-tenaga profesional yang lain, atasan,lembaga tempat bekerja (jika konselor adalah pegawainya), dan masyarakat;
  4. memberikan dasar untuk melakukan penilaian atas kegiatan profesional yang dilakukannya;
  5. menjaga nama baik profesi terhadap masyarakat (public trust) dengan mengusahakan standar mutu pelayanan dengan kecakapan tinggi dan menghindari perilaku tidak layak atau tidak patut/pantas;
  6. memberikan pedoman berbuat bagi konselor jika mengahadapi dilema etis;
  7. menunjukkan kepada konselor standar etika yang mencerminkan pengharapan masyarakat.
Kode etik sebagai salah satu syarat penting bagi eksistensi profesi konseling atau berbagai jati diri profesi konseling. Kode etik penting mengingat bahwa kode etik penerapannya dengan patuh dan taat asas, penegakkannnya merupakan tolok ukur kualitas pencapaian visi dan misi profesi. Dalam menjalankan tugasnya konselor untuk menunjukkan kinerjanya dengan penguasaan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional (Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Konselor). Kode etik menjadi penting sebagai pedoman kerja bagi konselor dalam menjalankan tugas profesinya. Pelanggaran terhadap norma-norma tersebut akan mendapatkan sanksi.

Tujuan ditegakkannya kode etik profesi adalah sebagi berikut:
  1. menjunjung tinggi martabat profesi;
  2. melindungi pelanggaran dari perbuatan malapraktik;
  3. meningkatkan mutu profesi;
  4. menjaga standar mutu; dan
  5. menegakkan ikatan antara tenaga profesi dan profesi yang disandang.
Akan sangat melegakan apabila dapat mempercayai bahwa seseorang yang berprofesi sebagai konselor tidak diragukan lagi. Seorang konselor yang kridebel adalah seseorang yang memiliki integritas dan kebajikan serta melakukan tindakan dengan merujuk kepada kode etik profesi yang sempurna. Tetapi hal itu jarang terjadi, ada cukup banyak bukti malpraktik etik di antara konselor dalam menjalankan tugas profesinya.

d. Keterbatasan Kode Etik

Remley (1985:81) mencatat bahwa kode etik itu umum dan idealistis; kurang menjawab pertanyaan yang spesifik. Selain itu, beliau juga menunjukkan bahwa dokumen seperti itu tidak dibahas “dilema profesional yang dapat diprediksi”. Alih-alih kode etik memberikan pedoman, berdasarkan pengalaman dan nilai-nilai, tentang bagaimana seharusnya tingkah laku konselor. Dalam banyak cara, standar etik mewakili kumpulan kebijaksanaan dari seorang profesi dalam kurun waktu tertentu.

Ada sejumlah batasan spesifik dalam kode etik. Di bawah ini beberapa batasan yang paling sering disebutkan (Beymer,1971; Corey, Corey, & Callanan, 2007; Talbutt,1981), sebagai berikut:
  1. Beberapa masalah tidak dapat diputuskan dengan kode etik.
  2. Pelaksanaan kode etik merupakan hal yang sulit.
  3. Standar-standar yang diuraikan dalam kode etik ada kemungkinan saling bertentangan.
  4. Beberapa isu legal dan etis tidak tercakup dalam kode etik.
  5. Kode etik adalah dokumen sejarah. Sehingga praktik yang diterima pada suatu kurun waktu mungkin saja dianggap tidak lagi etis di kemudian hari.
  6. Terkadang muncul konflik antara peraturan etik dan peraturan legal.
  7.  Kode etik tidak membahas masalah lintas budaya.
  8. Tidak semua kemungkinan situasi dibahas dalam kode etik.
  9. Sering kali sulit menampung keinginan semua pihak, yang terlibat dalam perbincangan etik secara sitematis.
  10. Kode etik bukan dokumen proaktif untuk membantu konselor dalam memutuskan apa yang harus dilakukan dalam suatu situasi baru.
Jadi, kode etik sangat berguna dalam beberapa hal, tetapi juga memiliki keterbatasan. Konselor harus berhati-hati karena tidak semua petunjuk yang mereka butuhkan dapat selalu ditemukan dalam dokumen ini. Meskipun begitu, kapanpun masalah etik timbul dalam konseling,yang pertama kali harus dilakukan konselor adalah memeriksa kode etik untuk melihat apakah ada pembahasan mengenai situasi tersebut.

e. Mengambil Keputusan Etik

Pengambilan keputusan etik tidak selamanya mudah dilakukan, tetapi hal ini merupakan bagian dari tugas seorang konselor. Untuk ini dibutuhkan kualitas seperti karakter, integritas, dan keberanian moral, selain pengetahuan (Welfel,2006).

Konselor dalam melakukan pengambilan keputusan etik, harus ”berdasarkan pemikiran yang hati-hati dan reflektif” mengenai respons yang mereka anggap benar dari sudut profesionalitas pada situasi tertentu. Beberapa prinsip etik yang berhubungan dengan aktivitas dan pilihan etik konselor:
  1. Beneficence/perbuatan baik (melakukan yang baik dan mencegah kerugian).
  2. Nonmaleficence (tidak mengakibatkan kerugian/rasa sakit).
  3. Autonomy/otonomi (memberikan kebebasan dalam memilih dan pengambilan keputusan sendiri).
  4. Justice/keadilan,dan
  5. Fidelity/kesetiaan (kesetiaan atau berpegang pada komitmen) (Ramley & Herlihy, 2005; Wilcoxon et al., 2007).
Van Hoose dan Paradise (1979) mengkonsep tingkah laku etik konselor dalam lima tingkatan perkembangan pertimbangan yang berkesinambungan, sebagaimana tertera dibawah ini:
  1. Orientasi hukuman. Pada tingkatan ini, konselor menganggap standar sosial eksternal (dari luar) adalah dasar untuk menilai tingkah laku. Jika klien atau konselor melanggar aturan sosial, mereka harus dihukum.
  2. Orientasi institusional. Konselor yang beroperasi pada tingkatan ini percaya dan berpegang pada aturan institusi tempat mereka bekerja. Mereka tidak meragukan aturan tersebut dan mendasarkan keputusan mereka pada aturan tersebut.
  3. Orientasi sosial. Pada tingkatan ini konselor mendasarkan keputusan yang diambilnya pada standar sosial. Jika timbul pertanyaan tentang apakah kepentingan sosial atau individual yang harus diutamakan, kepentingan sosial selalu mendapat prioritas.
  4. Orientasi individu. Kebutuhan individual mendapat prioritas utama pada tingkatan ini. Konselor memperhatikan kebutuhan sosial dan hukum yang berlaku,tetapi mereka fokus pada apa yang terbaik untuk individu.
  5. Orientasi prinsip hati nurani. Pada tingkatan ini kepedulian satusatunya adalah pada individu. Keputusan yang beretika diambil berdasarkan standar etika internal, bukan pertimbangan eksternal.

Download Modul Profesionalisasi Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling.pdf

Selengkapnya mengenai Isi dari Modul Bimbingan Konseling berjudul Profesionalisasi Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling format PDF ini bisa didapatkan secara lengkap tanpa harus membeli melalui link yang sudah kami sediakan dibawah ini :
Link Download Profesionalisasi Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling.pdf

Dapatkan juga File Penunjang Bimbingan Konseling lainnya dibawah ini :
  • Program Bimbingan dan Konseling Kurikulum 2013 Lihat DISINI
  • Rancangan Struktur Program Bimbingan dan Konseling DISINI
  • Aplikasi SKP Guru Bimbingan dan Konseling DISINI
  • Buku Pedoman Tes Minat dan Bakat Bimbingan Konseling DISINI
  • Pengertian, Fungsi Syarat dan Aplikasi Sosiometri Bimbingan Konseling DISINI
  • Aplikasi Minat dan Karir Holland Bimbingan Konseling DISINI
  • Progam Evaluasi Bimbingan dan Konseling SD SMP SMA SMK DISINI
  • Perangkat Bimbingan dan Konseling DISINI
  • Penelitian Tindakan Kelas Bimbingan dan Konseling DISINI
  • Buku Minat dan Bakat Bimbingan Konseling SMK DISINI
  • Aplikasi Nilai Sikap Guru Bimbingan dan Konseling DISINI
  • Aplikasi Self Esteem dan Locus DISINI
  • Aplikasi Multiple Intelegences Bimbingan dan Konseling DISINI
  • Aplikasi IKMS Bimbingan dan Konseling SD SMP SMA SMK DISINI
  • Buku Catatan Kasus Siswa Bimbingan dan Konseling DISINI
  • Program Kerja Bimbingan dan Konseling Kurikulum 2013 DISINI
Demikianlah kiranya berbagi Infomasi dan file mengenai Profesionalisasi Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling, semoga bermanfaat untuk bapak dan Ibu Konselor dimanapun berada.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

loading...